Senin, 10 Agustus 2015

Spiritualitas Urban

Because we need something to keep fresh

Because we need something to keep fresh | 100x140 cm | Oil on canvas | 2015
Tingginya mobilitas masyarakat (modern) di perkotaan (urban) dalam usahanya mencapai kemakmuran secara material (kemewahan/gengsi sosial) mendorong tumbuhnya sifat yang lebih mementingkan diri sendiri (individualistis), serba praktis (instan). Masyarakat begitu dimanjakan dengan berbagai kemudahan sebagai konsumen dengan komodifikasi berbagai olahan makanan yang cepat saji.  Sebagai symbol kemewahan hadirnya lemari pendingin (Kulkas) di setiap rumah tangga sepertinya adalah sebuah keharusan. Bagaimana menjaga ketersediaan stok makanan di dapur agar tetap segar untuk beberapa hari ke depan. Cara praktis menyimpan bahan makanan untuk beberapa hari juga diterapkan dalam laku spiritual (ritual) masyarakat (Bali) saat ini.  Sikap pragmatis ini  bisa kita amati dalam lemari pendingin setiap rumah tangga yang isinya selain bahan makanan maupun minuman, kita sudah pasti menemukan bahan-bahan membuat sesaji berupa bunga maupun sesaji berupa canangsari di bungkus plastik. Bagi orang Bali persembahan berupa sesaji yang dilakukan setiap hari adalah sebuah kesadaran melaksanakan kewajiban sebagaimana mereka setiap hari makan dan minum. Terlebih mempersembahkan sesuatu yang nampak masih fresh  sebagaimana makanan maupun minuman yang mereka konsumsi tetap fresh, bagi mereka tentu dalah sebuah kemewahan tersendiri. ***


Traffic Light 

Traffic Light | 120x150 cm | Oil on canvas | 2015






















Masyarakat (Hindu) Bali yang mewarisi tradisi spiritual dalam bentuk upacara (ritual) dengan berbagai bentuk yang simbolis. Dalam kehidupan masyarakat urban yang materialistis, bentuk-bentuk simbolis spiritual ini juga tetap diyakini sebagai sarana untuk tetap mendekatkan diri dengan sang Pencipta.
Sehingga dalam setiap aktivitas keseharian mereka terlebih aktivitas ekonomi (dalam usahanya mencapai kemakmuran material), bentuk bentuk simbolis spiritual tersebut selalu bisa kita jumpai.  Misalnya pada dashboard kendaraan baik pribadi maupun angkutan umum seperti anglutan kota, Taxi, angkutan pariwisata.

Canangsari sebagai sarana spiritual paling sederhana bagi orang Bali dalam mendekatkan diri dengan sang Pencipta. Namun, dalam perkembangan saat ini sering kita lihat kehadiran benda lain pada canangsari, berupa produk kapitalis misalnya roti, biscuit, wafer, permen kadang juga rokok. Kalau kita amati secara visual memang terjadi pergeseran (bisa juga dibaca: perubahan) “pengemasan” simbolis. Namun dari fenomena visual ini saya tidak ingin menyimpulkan bahwa dalam pergeseran kemasan tersebut juga telah merubah makna philosofis maupun esensi simbolis dari bentuk kesadaran spiritual tersebut.

3 butir permen pada canang sari di atas dashboard mobil sebagai pintu masuk untuk mencoba memahami paradok dalam laku spiritual di tengah aktivitas masyarakat urban yang konsumeristik dan materialistik. Traffic Light merupakan representasi urbanisasi sebagai sebuah persimpangan bertemunya berbagai latar belakang ras, etnis, agama, kelas ekonomi, dan social kultural bahkan latar belakang Negara yang berbeda. Traffic Light juga sebagai metaphor diri sendiri yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi yang masih berlangsung dan perubahan yang sedang terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali.***

Finding God in The Midst of Urban Chaos




Finding God in The Midst of Urban Chaos | Video Audio | 06.0.9 Minutes | 2015 
*silahkan pergunakan headset anda untuk mendapatkan suara yang lebih menarik*


Dalam kesemrawutan aktivitas masyarakat urban yang konsumeristik dan serba materialistis, kebisingan dan kemacetan adalah persoalan klise di setiap kota. Dalam kemacetan, kita juga tidak terhindarkan dari tekanan psikologis, di mana  tingkat emosional kadang menjadi semakin tidak terkontrol dalam kebisingan suara kendaraan, suara klakson yang saling bersautan juga polusi gas buangan kendaraan.

Kontradiksi dalam masyarakat urban ketika suatu saat di sebuah tempat suci ibadah (Pura, Masjid, Gereja) yang berlokasi di jalur padat menyelenggarakan ibadah maupun upacara keagamaan. Di situ mungkin kemacetan tidak terhindarkan. Suara kendaraan, klakson, suara pluit dari pengatur lalu lintas, suara genta, gamelan, serta suara kidung/kekawin dari pengeras suara bercampur aduk menambah tekanan psikologis dari para pengguna jalan. 


Asumsi berbeda tentu muncul dari orang-orang yang terlibat dalam kegiatan keagamaan tersebut, perasaan bangga menjadi religious, kadang tidak jarang juga menjadi arogan saat berinteraksi dengan pengguna jalan lainnya. Perasaan berbeda-beda tentu muncul dari para pengguna jalan yang terjebak kemacetan; ada yang merasa toleran nampak biasa saja, namun tak jarang juga ada yang emosinya tidak terkontrol mengumpat walaupun hanya di dalam hati.

Demikian realitas mencari kedamaian batin (Tuhan) di tengah kesemrawutan kota yang saya rekam dan coba representasikan dalam bentuk audio visual.***

Batubulan, Juni 2015
Wayan Suja




1 komentar: