Because we need something to keep fresh
Because we need something to keep fresh | 100x140 cm | Oil on canvas | 2015
|
Tingginya mobilitas masyarakat (modern) di perkotaan (urban) dalam usahanya
mencapai kemakmuran secara material (kemewahan/gengsi sosial) mendorong
tumbuhnya sifat yang lebih mementingkan diri sendiri (individualistis), serba
praktis (instan). Masyarakat begitu dimanjakan dengan berbagai kemudahan
sebagai konsumen dengan komodifikasi berbagai olahan makanan yang cepat
saji. Sebagai symbol kemewahan hadirnya
lemari pendingin (Kulkas) di setiap rumah tangga sepertinya adalah sebuah
keharusan. Bagaimana menjaga ketersediaan stok makanan di dapur agar tetap
segar untuk beberapa hari ke depan. Cara praktis menyimpan bahan makanan untuk
beberapa hari juga diterapkan dalam laku spiritual (ritual) masyarakat (Bali)
saat ini. Sikap pragmatis ini bisa kita amati dalam lemari pendingin setiap
rumah tangga yang isinya selain bahan makanan maupun minuman, kita sudah pasti menemukan
bahan-bahan membuat sesaji berupa bunga maupun sesaji berupa canangsari di
bungkus plastik. Bagi orang Bali persembahan berupa sesaji yang dilakukan
setiap hari adalah sebuah kesadaran melaksanakan kewajiban sebagaimana mereka
setiap hari makan dan minum. Terlebih mempersembahkan sesuatu yang nampak masih
fresh sebagaimana makanan maupun minuman yang mereka
konsumsi tetap fresh, bagi mereka
tentu dalah sebuah kemewahan tersendiri. ***
Traffic Light
Traffic Light | 120x150 cm | Oil on canvas | 2015
|
Masyarakat (Hindu) Bali yang mewarisi tradisi spiritual dalam bentuk upacara (ritual) dengan berbagai bentuk yang simbolis. Dalam kehidupan masyarakat urban yang materialistis, bentuk-bentuk simbolis spiritual ini juga tetap diyakini sebagai sarana untuk tetap mendekatkan diri dengan sang Pencipta.
Sehingga dalam setiap aktivitas keseharian mereka terlebih aktivitas
ekonomi (dalam usahanya mencapai kemakmuran material), bentuk bentuk simbolis
spiritual tersebut selalu bisa kita jumpai.
Misalnya pada dashboard kendaraan
baik pribadi maupun angkutan umum seperti anglutan kota, Taxi, angkutan
pariwisata.
Canangsari sebagai sarana spiritual paling sederhana bagi orang Bali
dalam mendekatkan diri dengan sang Pencipta. Namun, dalam perkembangan saat ini
sering kita lihat kehadiran benda lain pada canangsari, berupa produk kapitalis
misalnya roti, biscuit, wafer, permen kadang juga rokok. Kalau kita amati
secara visual memang terjadi pergeseran (bisa juga dibaca: perubahan) “pengemasan”
simbolis. Namun dari fenomena visual ini saya tidak ingin menyimpulkan bahwa
dalam pergeseran kemasan tersebut juga telah merubah makna philosofis maupun
esensi simbolis dari bentuk kesadaran spiritual tersebut.
3 butir permen pada canang sari di
atas dashboard mobil sebagai pintu masuk untuk mencoba memahami
paradok dalam laku spiritual di tengah aktivitas masyarakat urban yang
konsumeristik dan materialistik. Traffic
Light merupakan representasi urbanisasi sebagai sebuah persimpangan
bertemunya berbagai latar belakang ras, etnis, agama, kelas ekonomi, dan social
kultural bahkan latar belakang Negara yang berbeda. Traffic Light juga sebagai metaphor diri sendiri yang menjadi
bagian tak terpisahkan dari tradisi yang masih berlangsung dan perubahan yang
sedang terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali.***
Finding God in The Midst of Urban Chaos
Finding God in The Midst of Urban Chaos
Finding
God in The Midst of Urban Chaos | Video Audio | 06.0.9 Minutes | 2015
*silahkan pergunakan headset anda untuk mendapatkan suara yang lebih menarik*
Dalam kesemrawutan aktivitas masyarakat urban yang konsumeristik dan
serba materialistis, kebisingan dan kemacetan adalah persoalan klise di setiap
kota. Dalam kemacetan, kita juga tidak terhindarkan dari tekanan psikologis, di
mana tingkat emosional kadang menjadi
semakin tidak terkontrol dalam kebisingan suara kendaraan, suara klakson yang saling
bersautan juga polusi gas buangan kendaraan.
Kontradiksi dalam masyarakat urban ketika suatu saat di sebuah tempat
suci ibadah (Pura, Masjid, Gereja) yang berlokasi di jalur padat menyelenggarakan
ibadah maupun upacara keagamaan. Di situ mungkin kemacetan tidak terhindarkan.
Suara kendaraan, klakson, suara pluit dari pengatur lalu lintas, suara genta,
gamelan, serta suara kidung/kekawin dari pengeras suara bercampur aduk menambah
tekanan psikologis dari para pengguna jalan.
Asumsi berbeda tentu muncul dari orang-orang yang terlibat dalam kegiatan
keagamaan tersebut, perasaan bangga menjadi religious, kadang tidak jarang juga
menjadi arogan saat berinteraksi dengan pengguna jalan lainnya. Perasaan
berbeda-beda tentu muncul dari para pengguna jalan yang terjebak kemacetan; ada
yang merasa toleran nampak biasa saja, namun tak jarang juga ada yang emosinya
tidak terkontrol mengumpat walaupun hanya di dalam hati.
Demikian realitas mencari kedamaian batin (Tuhan) di tengah kesemrawutan
kota yang saya rekam dan coba representasikan dalam bentuk audio visual.***
Batubulan, Juni 2015
Wayan Suja
TEST BLOG
BalasHapus