Selasa, 11 Agustus 2015

Mythical Beauty

“Keindahan mitologis” pada lukisan-lukisan I Wayan Suja


       “ Why should beauty be suspect ? ” Pierre-Auguste Renoir 


Karya-karya I Wayan Suja pada pameran ini, berupa lukisan, object, dan video, mengambil tema gagasan dari salah seorang tokoh perempuan dan penari Bali yang bersejarah, yaitu: Ni Polok. Hingga kini memang juga lazim bagi para seniman laki-laki, orang Bali maupun bukan, untuk menjadikan  perempuan Bali sebagai model bagi penciptaan karyanya.  Namun demikian, saya rasa, keputusan Suja memilih masalah yang bersumber dari image Ni Polok bukan keputusan yang umum.  Pun Suja tidak menghadapi Ni Polok sebagai model karyanya secara langsung, selain menghadapi Ni Polok sebagai image yang ia temukan dalam wujud foto maupun gambar (khususnya: karya drawing yang dikerjakan oleh pelukis Belgia Andrien-Jean Le Mayeur de Merpres). 
Beauty, sunlight and silence_ 120x150 cm_ oilon canvas_2009

Persoalan Ni Polok yang dihadapi Suja sesungguhnya adalah juga sebuah masalah representasi mengenainya. Dalam pengertian umum, representasi adalah berbagai konstruksi yang bersifat artifisial  yang melaluinya kita mengenal dan memahami dunia. Dalam konstruksi semacam ini termasuk di dalamnya adalah bentuk representasi yang bersifat konseptual, seperti: gambar, image, bahasa, atau definisi, yang turut membangun suatu bentuk representasi menjadi bersifat sosial (memasyarakat) dan kultural (berlaku sebagai struktur pengetahuan yang turun menurun). Mekipun pemahaman kita mengenai dunia pengalaman hidup juga bergantung pada berbagai kenyataan yang bersifat fisikal , namun dalam prakteknya tetap dipengaruhi oleh bentuk-bentuk representasi sebegai suatu struktur ‘pengetahuan’ yang seolah-olah bersifat alamiah(1.  Ni Polok bagi Suja, dengan demikian, adalah soal pencitraan juga pengetahuan yang berkaitan dengan  dimensi pengertiannya yang bersifat kultural serta bersejarah: sebagai perempuan Bali yang khusus serta perannya sebagai model yang bernilai penting bagi proses penciptaan karya seni. Soal ‘Ni Polok’ dan Wayan Suja setidaknya memang sudah terkait erat satu sama lainnya karena (a) I Wayan Suja yang lahir dan tumbuh besar di Bali juga menikah dengan seorang perempuan Bali, dan (b) Suja juga seorang seniman (pelukis, laki-laki) yang akrab dengan persoalan mengenai citra dan model.  

Saya juga pernah bertanya pada Suja: “Apakah anda tengah meneruskan bahkan menafsirkan proyek kreatif yang sudah dilakukan seniman Le Mayeur ? ”.  Ia menjawab: “Saya mungkin lebih dekat dengan persoalan mengenai sisi Ni Polok dari pada mengenai proses penciptaan Le Mayeur. Bagi saya pribadi sebagai laki-laki dan seniman Bali, Ni Polok seperti telah memberikan jalan untuk bisa menemukan persoalan-persoalan penting yang sebelumnya tidak pernah saya sadari. Ya, . . .  mungkin juga saya sedang meneruskan apa yang sudah dilakukan Le Mayeur. Tapi saya rasa, saya meneruskan dengan cara yang lain dan berbeda. Saya melakukannya dengan cara saya sendiri”.  Penjelasan Suja ini memang seperti hendak mengantarkan pemahaman kita mengenai karakter visual yang menonjol pada lukisan-lukisannya. Jika kita perhatikan lukisan-lukisan mutakhir Suja maka kita bisa melihat kualitas yang khas tentang image Ni Polok ini. Bagi saya, sepertinya Suja tengah berusaha menempakan persoalan representasi Ni Polok  a’la Le Mayeur ini dalam posisinya secara teoritis pada karakter lapisan permukaan kerutan bungkus plastik (wrapping plastic) cara khas Wayan Suja.  
A Painting of Balinese Women#1_200x150cm_oil on canvas_2009

Secara teoritis, kita bisa menguraikan problematika representasi  (image) yang dihadapi Suja dalam pengertiannya sebagai lapisan-lapisan persoalan.  Pada prekteknya,  Suja memang berjarak dengan ‘Ni Polok’ yang berada pada lapisan yang paling ‘dalam’ pada karya-karyanya.  Ni Polok seolah ‘tertutup’ lapisan representasi karakter ekspresi Le Mayeur serta lapisan permukaan bungkus plastik (yang berada pada bagian yang paling luar).  Maka meski kita seolah sudah mengenal secara langsung ‘gambar’ yang mirip dengan Ni Polok pada lukisan Suja, toh soal nilai kemiripan visual tersebut bukannya nilai pemahaman yang berlaku secara langsung.  Peneliti seni Ernst H.J Gombrich , misalnya, menjelaskan bahwa sebuah representasi [bisa] dianggap mirip dengan bentuk, obyek, atau sebuah lingkungan tertentu, pada dasarnya tidak terjadi karena bentuk representasi yang dimaksud berfungsi sebagai cara menjadi tiruan dari bentuk-bentuk tertentu, atau jadi citraan yang befungsi sebagai cermin dari suatu realitas.  Apa yang sebenarnya terjadi adalah hasil suatu penilaian yang terjadi melalui praktek pemahaman melalui model-model  yang bersifat relasional(2. Dengan demikian cara seseorang memahami sebuah [bentuk] representasi tak berlangsung secara alamiah melainkan justru terjadi melalui model-model pemahaman tertentu, misalnya melalui pengetahuan tentang karakter-karater : cahaya, bayangan: arsir, nilai emosi, dll, sehingga sebuah bentuk (sebagai representasi) menjadi jelas dan terpahami. Saya pikir, Suja mulai menjelajahi persoalan representasi pada lukisan-lukisannya melelaui perspektif pemahaman semacam ini. Lukisan mutakhir Suja mencoba memahami persoalan teoritis tentang lapisan-lapisan yang membentuk ‘hasil’ penampakkan sebuah representasi (Ni Polok) sebagai pokok perhatian penting.
A Painting of Balinese Women#2_200x300cm_oil on canvas_2009

 I Wayan Suja memang tidak sedang melukis sosok Ni Polok  (sebagaimana dulu Le Mayeur melakukannya), selain bergulat dengan problematika representasi (image) tentang Ni Polok.  Sebelumnya, ada beberapa pertanyaan penting yang menghadang Suja, seperti: :  Apakah para pecinta lukisan juga mengenal Ni Polok sebagaimana nama Le Mayeur sohor dikenang? Adakah peran citra seorang model demi mendukung kebesaran sebuah karya? Bukankah image Ni Polok juga turut membentuk citra tentang pulau Bali sebagai lingkungan yang ideal , bahkan mungkin disebut ‘nirvana’ ?  Bagi saya, lukisan-lukisan Suja coba mengartikulasikan serangkaian makna yang mungkin muncul dari semacam jarak yang terbangun diantara sosok Ni Polok dengan representasinya secara visual.  Tentu saja kita tak sedang berusaha berdebat:  mana yang lebih ‘benar’ diantara pengakuan mengenai sesosok Ni Polok terhadap representasinya secara visual? Soal yang terpikir bagi saya adalah ‘kenyataan’  bahwa sebuah image memiliki semacam fitrah hidupnya sendiri. Peneliti seni W.J.T Mitchell menyakinkan soal itu, katanya: “(i)mages, like histories and technologies, are our creations, yet also commonly thought to be ‘out of our control’ or at least out of ‘someone’s control, the question of agency and power being central to the way image works”(3.

Dalam perspektif teoritis maka tema gagasan lukisan-lukisan Ni Polok Wayan Suja bisa dipahami sebagai persoalan tentang pengembaraan Ni Polok dalam kekuatan makna imej(nya).  Sebagaimana dimaksud  Mitchell, baik LeMayeur maupun Suja toh keduanya tak bisa mengklaim sebagai ‘pemilik’ imej Ni Polok. Dalam lukisan-lukisan mutakhirnya, Suja seperti melapisi atau menyiapkan selubung permukaan plastik bagi makna imej Ni Polok yang terus bergerak.  Seperti juga Le Mayeur, Suja menarik citra Ni Polok dalam perspektif pandangan dirinya secara khas. Jika Le Mayeur menempatkan citra Ni Polok pada jendela persepsi mengenai pemandangan tentang alam dan budaya Bali sebagai ‘nirvana’ ; maka Suja membawa persepsinya tentang Bali yang berbeda dengan Le Mayeur ke hadapan imej Ni Polok. Bagi Suja, ide permukaan plastik  itu memang berasal dari plastik bungkus yang dipahaminya sebagai bagian dari proses globalisasi dunia bungkus plastik adalah mediator kemajuan perdagangan dan pola hidup konsumtif yang melanda seluruh bentuk masyarakat di seluruh dunia. “Bahan dan bungkus plastik adalah persoalan yang kini banyak disesali, tapi kita tak bisa mengingkari dan menghindar darinya karena juga adalah bagian dari sejarah kemajuan dunia modern. Plastik tentu bukan hanya tentang bahan bagi tas dan alat bungkus saja tapi juga berbagai obyek dan benda lain hingga bisa menggantikan bagian organ tubuh manusia”, papar Suja.  Seperti Paul Gauguin yang pergi ke Tahiti, maka Le Mayeur berangkat ke Bali untuk menemukan ‘surga yang hilang’ bagi kemajuan peradaban modern yang kian bersifat materialistis. Wayan Suja kini memproyeksikan (kembali dampak persoalan dari materialitas dunia moderen ini pada jejak-jejak pembayangan tentang ‘surga’ dan ‘lingkungan budaya yang asri’.  Seseorang mungkin bisa menganggap  plastik sebagai material yang berwatak artificial, yang palsu, cair, buatan, dan tak memiliki karakternya yang ‘asli’.  Saya pikir, ini juga pokok yang hendak di sasar Suja demi menemukan hal-hal yang sesungguhnya dikonstruksi dalam sebuah representasi, baik menyangkut pencitraan tentang perempuan, budaya, maupun Bali itu sendiri.  
A Painting of two Balinese Women#1_150x250cm_oil on canvas_2009

Bagi saya, kecenderungan artistik Wayan Suja pada karya-karyanya kini yang realistik juga berkaitan dengan perenungannya mengenai lapisan plastik tersebut di atas.  Secara umum, kecenderungan realisme memang pilihan yang popular bagi banyak pelukis kelahiran Bali berbanding terbalik dengan kecenderungan simbolik, simbolisme, dan abstrak-ekspresionisme. Toh kini kecenderungan realistik  (realisme?) dalam pengeruh teknologi fotografi dan komputersasi adalah arus kecenderung global yang tak bisa disangkal lewat berbagai representasi visual berbagai media.  

Kini kita masuki lapisan lebih dalam lagi setelah permukaan bidang kerut plastik, yaitu intensi Suja sendiri sebagai seorang seniman. Dalam diskursus perkembangan seni lukis secara khusus dikenal apa yang dimaksud sebagai “an idea of plastic equvalent in colour and form for emotional or spiritual states”,  atau suatu gagasan tentang penyamaan kapasitas plastis melalui warna dan bentuk pada karya  untuk mewakili kondisi emosional dan spriritual seorang seniman. Terutama sejak akhir abad ke sembilan belas, gagasan ini dibicarakan untuk menyatakan kaitan antara ekspresi seni (khususnya lukisan) pada kondisi sensibilitas manusia modern.  Para seniman dianggap sebagai seseorang yang memiliki otoritas mendasar pada diri mereka dalam bentuk kapasitas untuk menyatakan, melalui karya-karya mereka, suatu bagan struktur (pemahaman) tentang berbagai suasana hati dan keyakinan manusia modern(4.  Wawasan perkembangan seni rupa modern memang telah mewariskan semacam ‘metoda’ yang bisa memandu kepekaan artistik seorang seniman agar mampu menguraikan pengalaman melihat menjadi gambaran tanda-tanda yang bernilai.  Dipenghujung abad ke-19, para seniman mulai terbisa melepaskan diri dari rasa kagum meniru bentuk-bentuk alam sebagaimana berlaku sebagai hasil pengalaman melihat secara langsung. Karya seni selanjutnya tak lagi dianggap sebagai bentuk representasi mengenai obyek-obyek dunia alamiah selain justru sebagai jejak penjelajahan demi penemuan dimensi-dimensi nilai yang baru. Filsuf seni Susanne K. Langer, diabad ke-20, bahkan meyakini bahwa: “what art express are the forms of life, of vital feeling, ‘forms of growth and of attenuation, flowing and stowing, conflict and resolution, and so on  ‘the elusive yet familiar patterns of sentence’”(5.
A Painting of two Balinese Women#2_150x250cm_oil on canvas_2009

Imej Ni Polok yang kita temukan pada lukisan-lukisan Wayan Suja memang mengalami perubahan, baik sebagai imej bentuk yang bersifat fotografik maupun karakternya sebagai karya Le Mayeur.  Pokok penting yang bisa kita temukan pada permukaan lukisan Suja adalah juga permainan bidang warna serta potongan-potongan bentuk yang mengalami distorsi, menjadi urutan-urutan komposisi bentuk dan warna yang menciptakan semacam jarak dari hasil cara pengamatan mata secara langsung. Pada lukisan itu kita seakan tak bisa memisahkan nilai penting diantara  ‘bentuk’ dan ‘cara membentuk’; antara (cara menyatakan) bentuk dengan isi (gambaran yang disampaikannya).  Langer mungkin akan menyebutnya seperti ini:  “there can be no real distinction between the form and its ‘content’. The ‘content’ of a work is its import, and this accounts for its ‘transparancy’, its alien presence which reveals immediately a dimension of meaning, the idea of feeling”(6.  Representasi Ni Polok pada lukisan-lukisan Suja memang nampak bersifat lebih liris (lyrical) ketimbang ilustratf dan deskriptif. Pada permainan potongan bidang bentuk dan  warnalah Suja menyatakan semacam gagasan perasaan, suasana hati, bahkan keyakinan mengenai sosok Ni Polok melalui kekuatan daya pemaparan yang bersifat intuitif. 
Surviving Memories, 2009

Lapisan representasi yang terakhir dan terdalam pada lukisan Suja, secara teoritis, adalah soal ihwal Ni Polok sendiri.  Sebagai suatu hasil representasi yang bersifat sosial-kultural maka perkara nilai kecantikan dan keindahan sosok Ni Polok terkaitan pada dua persoalan penting, yaitu:  soal tradisi dan mitos. Hingga kini, telah banyak cara orang menerangkan pengertian mengenai persoalan ‘tradisi’. Bagi saya, ihwal tradisi bukannya soal  aturan kebiasan yang berlaku sebagai ‘jawaban’ yang telah ditentukan selain justru ‘masalah-masalah’ kebiasaan yang masih perlu terus dirumuskan. Pandangan teoritisi budaya, sejarawati  dan kritikus seni Geeta Kapur menjelaskan pokok masalah ini, katanya: “(t)radition is what is invented by a society’s cultural vanguard in the course of a struggle. It marks of territories/ identities of a named people . . . In that sense it is a loaded signifier drawing energy from an imaginary resource (the ideal tradition), but always remaining by virtue of its strongly ideological import an ambivalent, often culpable, sign in need of constant historical interpretation so that we know way it is pointing”(7. Menarik pemahaman kita pada sosok Ni Polok, maka kita bisa pula menyangsikan posisi Ni Polok hanya sebagai seorang perempuan Bali yang tradisional.  Sosok Ni Polok yang  pada masanya dianggap sebagai ‘obyek’ seni yang berwatak alamiah dan tradisional, pada perkembangan masa dan penafsiran praktek seni rupa selanjutnya ternyata juga berlaku sebagai imej yang turut merumuskan ‘kemajuan’ ekspresi seni rupa modern (via karya-karya Le Mayeur).  Karya-karya Suja, saya pikir, adalah langkah awal percobaan demi memahami bagaimana persoalan tentang representasi sosok ‘obyek’ bisa ditafsirkan sebagai imej yang bersifat aktif atau berlaku sebagai ‘subyek’ pada perspektif yang lainnya. Sebagai sumber gagasan, imej Ni Polok memang berlaku aktif memicu kesadaran Suja untuk memahami persoalan-persoalan tentang : sosok wanita Bali, lingkungan adat dan tradisi Bali, serta penghayatan mengenainya yang terus berkembangan hingga di masa kini.
A portrait of balinese Dancer#2_200x300cm_oil on canvas_2009

Pokok penting lain pada sosok Ni Polok, yang juga dianggap turut merepresentasikan Bali sebagai  surga di dunia,  adalah nilai kecantikan dan keindahan.  Pada titik ini kita bisa sampai ke persimpangan pendapat, pada perbedaan-perbedaan cara menerima nilai dari ‘keindahan’ itu sendiri. Bahkan pada cara Wayan Suja mentransformasikan imej Ni Polok secara lain (dari imej fotogarfik maupun karya Le Mayeur), bukankah ia juga pada akhirnya tiba pada hasil penyampai bentuk keindahan?  Lukisan-lukisan Suja, meski  mengandung nilai kontradiksi dalam cara menyusunan elemen-elemennya, tetap menyampaikan hasil keindahan secara komposisi. Seseorang mungkin saja menolak cara seorang seniman, termasuk Suja, mengungkapkan nilai keindahan secara eksplisit. Bagi saya, maka itulah pilihan dan keputusan Suja. Tentu saja Suja tak seorang diri, seorang pelukis  Perancis, Pierre-Auguste Renoir,  juga pernah menyatakan: “ Why should beauty be suspect ? ”.  Pokok paling penting dari kesungguhan Wayan Suja untuk menyampaikan nilai keindahan itu tentu bukan soal ‘keindahan’ itu sendiri, melainkan tentang kemampuannya untuk menggerakkan kesadaran-diri mengenal lingkungan dan pengalaman hidup.  Persepsi tentang nilai ‘keindahan’ dan ‘kecantikan’ pada sosok Ni Polok tentu juga adalah sebuah mitos. Dalam penjelasannya, sebuah mitos “serve the ideological functions of naturalization ’to make  the cultural natural’ , in other words, to make shared cultural and historical values, attitudes and beliefs seem ‘natural’, ‘normal’, ‘self-evident’, ‘common-sense’ and even ‘true’”(8. Cara Suja membentuk karya- karyanya, bagi saya, tak lain adalah alasan demi menerima apa yang terbiasa kita persepsi secara umum sebagai nilai (keindahan) bisa dialami secara lebih bermakna.

Bandung , November 2009

Rizki A. Zaelani
Kurator 


ENDNOTES:
  1. 1. Brian Wallis, “What’s Wrong With This Pictures? An Introduction”,  Brian Wallis, ed. ART AFTER MODERNISM: Rethinking Representation (New York – Boston: The New Museum of Contemporary Art – David R. Godine, Publisher, Inc, 1988), hlm. xv.

  1. 2. Ernst H.J Gombrich, Art and Illusion: A Study in the psychology of Pictorial Representation (1960); (Oxford: Phaidon, 1980), hlm.27

  1. 3. W.J.T Mitchell, “The Pictorial Turn”, dalam PICTURE THEORY, Essays on Verbal and Visual Representation (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1994), hlm.6.

  1. 4. Lht. Pam Meecham & Julie Sheldon, “Retreat From Urban” dalam Modern Art: A Critical Introduction (London- New York: Routledge, 2000), hlm. 61-62

  1. 5. Lht. Susanne K. Langer, Feeling and Form (New York: Scibner, 1953), hlm. 27, 52.

  1. 6. Ibid.

  1. 7. Geeta Kapur, “CONTEMPORARY CULTURAL PRACTICE: Some Polemical Categories”, dalam  Rasheed Araeen, Sean Cubitt, Ziauddin Sardar, ed, THE THIRD TEXT READER on Art, Culture and Theory (London – New York: Continuum, 2002), hlm. 15

  1. 8. Tim O’Sullivan, John Hartley, Danny Saunders, Martin Montgomery & John Fiske, Key Concepts in Communication and Cultural Studies (London: Routledge, 1994), hal. 73.




Review 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar