Selasa, 11 Agustus 2015

Mythical Beauty

“Keindahan mitologis” pada lukisan-lukisan I Wayan Suja


       “ Why should beauty be suspect ? ” Pierre-Auguste Renoir 


Karya-karya I Wayan Suja pada pameran ini, berupa lukisan, object, dan video, mengambil tema gagasan dari salah seorang tokoh perempuan dan penari Bali yang bersejarah, yaitu: Ni Polok. Hingga kini memang juga lazim bagi para seniman laki-laki, orang Bali maupun bukan, untuk menjadikan  perempuan Bali sebagai model bagi penciptaan karyanya.  Namun demikian, saya rasa, keputusan Suja memilih masalah yang bersumber dari image Ni Polok bukan keputusan yang umum.  Pun Suja tidak menghadapi Ni Polok sebagai model karyanya secara langsung, selain menghadapi Ni Polok sebagai image yang ia temukan dalam wujud foto maupun gambar (khususnya: karya drawing yang dikerjakan oleh pelukis Belgia Andrien-Jean Le Mayeur de Merpres). 
Beauty, sunlight and silence_ 120x150 cm_ oilon canvas_2009

Persoalan Ni Polok yang dihadapi Suja sesungguhnya adalah juga sebuah masalah representasi mengenainya. Dalam pengertian umum, representasi adalah berbagai konstruksi yang bersifat artifisial  yang melaluinya kita mengenal dan memahami dunia. Dalam konstruksi semacam ini termasuk di dalamnya adalah bentuk representasi yang bersifat konseptual, seperti: gambar, image, bahasa, atau definisi, yang turut membangun suatu bentuk representasi menjadi bersifat sosial (memasyarakat) dan kultural (berlaku sebagai struktur pengetahuan yang turun menurun). Mekipun pemahaman kita mengenai dunia pengalaman hidup juga bergantung pada berbagai kenyataan yang bersifat fisikal , namun dalam prakteknya tetap dipengaruhi oleh bentuk-bentuk representasi sebegai suatu struktur ‘pengetahuan’ yang seolah-olah bersifat alamiah(1.  Ni Polok bagi Suja, dengan demikian, adalah soal pencitraan juga pengetahuan yang berkaitan dengan  dimensi pengertiannya yang bersifat kultural serta bersejarah: sebagai perempuan Bali yang khusus serta perannya sebagai model yang bernilai penting bagi proses penciptaan karya seni. Soal ‘Ni Polok’ dan Wayan Suja setidaknya memang sudah terkait erat satu sama lainnya karena (a) I Wayan Suja yang lahir dan tumbuh besar di Bali juga menikah dengan seorang perempuan Bali, dan (b) Suja juga seorang seniman (pelukis, laki-laki) yang akrab dengan persoalan mengenai citra dan model.  

Saya juga pernah bertanya pada Suja: “Apakah anda tengah meneruskan bahkan menafsirkan proyek kreatif yang sudah dilakukan seniman Le Mayeur ? ”.  Ia menjawab: “Saya mungkin lebih dekat dengan persoalan mengenai sisi Ni Polok dari pada mengenai proses penciptaan Le Mayeur. Bagi saya pribadi sebagai laki-laki dan seniman Bali, Ni Polok seperti telah memberikan jalan untuk bisa menemukan persoalan-persoalan penting yang sebelumnya tidak pernah saya sadari. Ya, . . .  mungkin juga saya sedang meneruskan apa yang sudah dilakukan Le Mayeur. Tapi saya rasa, saya meneruskan dengan cara yang lain dan berbeda. Saya melakukannya dengan cara saya sendiri”.  Penjelasan Suja ini memang seperti hendak mengantarkan pemahaman kita mengenai karakter visual yang menonjol pada lukisan-lukisannya. Jika kita perhatikan lukisan-lukisan mutakhir Suja maka kita bisa melihat kualitas yang khas tentang image Ni Polok ini. Bagi saya, sepertinya Suja tengah berusaha menempakan persoalan representasi Ni Polok  a’la Le Mayeur ini dalam posisinya secara teoritis pada karakter lapisan permukaan kerutan bungkus plastik (wrapping plastic) cara khas Wayan Suja.  
A Painting of Balinese Women#1_200x150cm_oil on canvas_2009

Secara teoritis, kita bisa menguraikan problematika representasi  (image) yang dihadapi Suja dalam pengertiannya sebagai lapisan-lapisan persoalan.  Pada prekteknya,  Suja memang berjarak dengan ‘Ni Polok’ yang berada pada lapisan yang paling ‘dalam’ pada karya-karyanya.  Ni Polok seolah ‘tertutup’ lapisan representasi karakter ekspresi Le Mayeur serta lapisan permukaan bungkus plastik (yang berada pada bagian yang paling luar).  Maka meski kita seolah sudah mengenal secara langsung ‘gambar’ yang mirip dengan Ni Polok pada lukisan Suja, toh soal nilai kemiripan visual tersebut bukannya nilai pemahaman yang berlaku secara langsung.  Peneliti seni Ernst H.J Gombrich , misalnya, menjelaskan bahwa sebuah representasi [bisa] dianggap mirip dengan bentuk, obyek, atau sebuah lingkungan tertentu, pada dasarnya tidak terjadi karena bentuk representasi yang dimaksud berfungsi sebagai cara menjadi tiruan dari bentuk-bentuk tertentu, atau jadi citraan yang befungsi sebagai cermin dari suatu realitas.  Apa yang sebenarnya terjadi adalah hasil suatu penilaian yang terjadi melalui praktek pemahaman melalui model-model  yang bersifat relasional(2. Dengan demikian cara seseorang memahami sebuah [bentuk] representasi tak berlangsung secara alamiah melainkan justru terjadi melalui model-model pemahaman tertentu, misalnya melalui pengetahuan tentang karakter-karater : cahaya, bayangan: arsir, nilai emosi, dll, sehingga sebuah bentuk (sebagai representasi) menjadi jelas dan terpahami. Saya pikir, Suja mulai menjelajahi persoalan representasi pada lukisan-lukisannya melelaui perspektif pemahaman semacam ini. Lukisan mutakhir Suja mencoba memahami persoalan teoritis tentang lapisan-lapisan yang membentuk ‘hasil’ penampakkan sebuah representasi (Ni Polok) sebagai pokok perhatian penting.
A Painting of Balinese Women#2_200x300cm_oil on canvas_2009

 I Wayan Suja memang tidak sedang melukis sosok Ni Polok  (sebagaimana dulu Le Mayeur melakukannya), selain bergulat dengan problematika representasi (image) tentang Ni Polok.  Sebelumnya, ada beberapa pertanyaan penting yang menghadang Suja, seperti: :  Apakah para pecinta lukisan juga mengenal Ni Polok sebagaimana nama Le Mayeur sohor dikenang? Adakah peran citra seorang model demi mendukung kebesaran sebuah karya? Bukankah image Ni Polok juga turut membentuk citra tentang pulau Bali sebagai lingkungan yang ideal , bahkan mungkin disebut ‘nirvana’ ?  Bagi saya, lukisan-lukisan Suja coba mengartikulasikan serangkaian makna yang mungkin muncul dari semacam jarak yang terbangun diantara sosok Ni Polok dengan representasinya secara visual.  Tentu saja kita tak sedang berusaha berdebat:  mana yang lebih ‘benar’ diantara pengakuan mengenai sesosok Ni Polok terhadap representasinya secara visual? Soal yang terpikir bagi saya adalah ‘kenyataan’  bahwa sebuah image memiliki semacam fitrah hidupnya sendiri. Peneliti seni W.J.T Mitchell menyakinkan soal itu, katanya: “(i)mages, like histories and technologies, are our creations, yet also commonly thought to be ‘out of our control’ or at least out of ‘someone’s control, the question of agency and power being central to the way image works”(3.

Dalam perspektif teoritis maka tema gagasan lukisan-lukisan Ni Polok Wayan Suja bisa dipahami sebagai persoalan tentang pengembaraan Ni Polok dalam kekuatan makna imej(nya).  Sebagaimana dimaksud  Mitchell, baik LeMayeur maupun Suja toh keduanya tak bisa mengklaim sebagai ‘pemilik’ imej Ni Polok. Dalam lukisan-lukisan mutakhirnya, Suja seperti melapisi atau menyiapkan selubung permukaan plastik bagi makna imej Ni Polok yang terus bergerak.  Seperti juga Le Mayeur, Suja menarik citra Ni Polok dalam perspektif pandangan dirinya secara khas. Jika Le Mayeur menempatkan citra Ni Polok pada jendela persepsi mengenai pemandangan tentang alam dan budaya Bali sebagai ‘nirvana’ ; maka Suja membawa persepsinya tentang Bali yang berbeda dengan Le Mayeur ke hadapan imej Ni Polok. Bagi Suja, ide permukaan plastik  itu memang berasal dari plastik bungkus yang dipahaminya sebagai bagian dari proses globalisasi dunia bungkus plastik adalah mediator kemajuan perdagangan dan pola hidup konsumtif yang melanda seluruh bentuk masyarakat di seluruh dunia. “Bahan dan bungkus plastik adalah persoalan yang kini banyak disesali, tapi kita tak bisa mengingkari dan menghindar darinya karena juga adalah bagian dari sejarah kemajuan dunia modern. Plastik tentu bukan hanya tentang bahan bagi tas dan alat bungkus saja tapi juga berbagai obyek dan benda lain hingga bisa menggantikan bagian organ tubuh manusia”, papar Suja.  Seperti Paul Gauguin yang pergi ke Tahiti, maka Le Mayeur berangkat ke Bali untuk menemukan ‘surga yang hilang’ bagi kemajuan peradaban modern yang kian bersifat materialistis. Wayan Suja kini memproyeksikan (kembali dampak persoalan dari materialitas dunia moderen ini pada jejak-jejak pembayangan tentang ‘surga’ dan ‘lingkungan budaya yang asri’.  Seseorang mungkin bisa menganggap  plastik sebagai material yang berwatak artificial, yang palsu, cair, buatan, dan tak memiliki karakternya yang ‘asli’.  Saya pikir, ini juga pokok yang hendak di sasar Suja demi menemukan hal-hal yang sesungguhnya dikonstruksi dalam sebuah representasi, baik menyangkut pencitraan tentang perempuan, budaya, maupun Bali itu sendiri.  
A Painting of two Balinese Women#1_150x250cm_oil on canvas_2009

Bagi saya, kecenderungan artistik Wayan Suja pada karya-karyanya kini yang realistik juga berkaitan dengan perenungannya mengenai lapisan plastik tersebut di atas.  Secara umum, kecenderungan realisme memang pilihan yang popular bagi banyak pelukis kelahiran Bali berbanding terbalik dengan kecenderungan simbolik, simbolisme, dan abstrak-ekspresionisme. Toh kini kecenderungan realistik  (realisme?) dalam pengeruh teknologi fotografi dan komputersasi adalah arus kecenderung global yang tak bisa disangkal lewat berbagai representasi visual berbagai media.  

Kini kita masuki lapisan lebih dalam lagi setelah permukaan bidang kerut plastik, yaitu intensi Suja sendiri sebagai seorang seniman. Dalam diskursus perkembangan seni lukis secara khusus dikenal apa yang dimaksud sebagai “an idea of plastic equvalent in colour and form for emotional or spiritual states”,  atau suatu gagasan tentang penyamaan kapasitas plastis melalui warna dan bentuk pada karya  untuk mewakili kondisi emosional dan spriritual seorang seniman. Terutama sejak akhir abad ke sembilan belas, gagasan ini dibicarakan untuk menyatakan kaitan antara ekspresi seni (khususnya lukisan) pada kondisi sensibilitas manusia modern.  Para seniman dianggap sebagai seseorang yang memiliki otoritas mendasar pada diri mereka dalam bentuk kapasitas untuk menyatakan, melalui karya-karya mereka, suatu bagan struktur (pemahaman) tentang berbagai suasana hati dan keyakinan manusia modern(4.  Wawasan perkembangan seni rupa modern memang telah mewariskan semacam ‘metoda’ yang bisa memandu kepekaan artistik seorang seniman agar mampu menguraikan pengalaman melihat menjadi gambaran tanda-tanda yang bernilai.  Dipenghujung abad ke-19, para seniman mulai terbisa melepaskan diri dari rasa kagum meniru bentuk-bentuk alam sebagaimana berlaku sebagai hasil pengalaman melihat secara langsung. Karya seni selanjutnya tak lagi dianggap sebagai bentuk representasi mengenai obyek-obyek dunia alamiah selain justru sebagai jejak penjelajahan demi penemuan dimensi-dimensi nilai yang baru. Filsuf seni Susanne K. Langer, diabad ke-20, bahkan meyakini bahwa: “what art express are the forms of life, of vital feeling, ‘forms of growth and of attenuation, flowing and stowing, conflict and resolution, and so on  ‘the elusive yet familiar patterns of sentence’”(5.
A Painting of two Balinese Women#2_150x250cm_oil on canvas_2009

Imej Ni Polok yang kita temukan pada lukisan-lukisan Wayan Suja memang mengalami perubahan, baik sebagai imej bentuk yang bersifat fotografik maupun karakternya sebagai karya Le Mayeur.  Pokok penting yang bisa kita temukan pada permukaan lukisan Suja adalah juga permainan bidang warna serta potongan-potongan bentuk yang mengalami distorsi, menjadi urutan-urutan komposisi bentuk dan warna yang menciptakan semacam jarak dari hasil cara pengamatan mata secara langsung. Pada lukisan itu kita seakan tak bisa memisahkan nilai penting diantara  ‘bentuk’ dan ‘cara membentuk’; antara (cara menyatakan) bentuk dengan isi (gambaran yang disampaikannya).  Langer mungkin akan menyebutnya seperti ini:  “there can be no real distinction between the form and its ‘content’. The ‘content’ of a work is its import, and this accounts for its ‘transparancy’, its alien presence which reveals immediately a dimension of meaning, the idea of feeling”(6.  Representasi Ni Polok pada lukisan-lukisan Suja memang nampak bersifat lebih liris (lyrical) ketimbang ilustratf dan deskriptif. Pada permainan potongan bidang bentuk dan  warnalah Suja menyatakan semacam gagasan perasaan, suasana hati, bahkan keyakinan mengenai sosok Ni Polok melalui kekuatan daya pemaparan yang bersifat intuitif. 
Surviving Memories, 2009

Lapisan representasi yang terakhir dan terdalam pada lukisan Suja, secara teoritis, adalah soal ihwal Ni Polok sendiri.  Sebagai suatu hasil representasi yang bersifat sosial-kultural maka perkara nilai kecantikan dan keindahan sosok Ni Polok terkaitan pada dua persoalan penting, yaitu:  soal tradisi dan mitos. Hingga kini, telah banyak cara orang menerangkan pengertian mengenai persoalan ‘tradisi’. Bagi saya, ihwal tradisi bukannya soal  aturan kebiasan yang berlaku sebagai ‘jawaban’ yang telah ditentukan selain justru ‘masalah-masalah’ kebiasaan yang masih perlu terus dirumuskan. Pandangan teoritisi budaya, sejarawati  dan kritikus seni Geeta Kapur menjelaskan pokok masalah ini, katanya: “(t)radition is what is invented by a society’s cultural vanguard in the course of a struggle. It marks of territories/ identities of a named people . . . In that sense it is a loaded signifier drawing energy from an imaginary resource (the ideal tradition), but always remaining by virtue of its strongly ideological import an ambivalent, often culpable, sign in need of constant historical interpretation so that we know way it is pointing”(7. Menarik pemahaman kita pada sosok Ni Polok, maka kita bisa pula menyangsikan posisi Ni Polok hanya sebagai seorang perempuan Bali yang tradisional.  Sosok Ni Polok yang  pada masanya dianggap sebagai ‘obyek’ seni yang berwatak alamiah dan tradisional, pada perkembangan masa dan penafsiran praktek seni rupa selanjutnya ternyata juga berlaku sebagai imej yang turut merumuskan ‘kemajuan’ ekspresi seni rupa modern (via karya-karya Le Mayeur).  Karya-karya Suja, saya pikir, adalah langkah awal percobaan demi memahami bagaimana persoalan tentang representasi sosok ‘obyek’ bisa ditafsirkan sebagai imej yang bersifat aktif atau berlaku sebagai ‘subyek’ pada perspektif yang lainnya. Sebagai sumber gagasan, imej Ni Polok memang berlaku aktif memicu kesadaran Suja untuk memahami persoalan-persoalan tentang : sosok wanita Bali, lingkungan adat dan tradisi Bali, serta penghayatan mengenainya yang terus berkembangan hingga di masa kini.
A portrait of balinese Dancer#2_200x300cm_oil on canvas_2009

Pokok penting lain pada sosok Ni Polok, yang juga dianggap turut merepresentasikan Bali sebagai  surga di dunia,  adalah nilai kecantikan dan keindahan.  Pada titik ini kita bisa sampai ke persimpangan pendapat, pada perbedaan-perbedaan cara menerima nilai dari ‘keindahan’ itu sendiri. Bahkan pada cara Wayan Suja mentransformasikan imej Ni Polok secara lain (dari imej fotogarfik maupun karya Le Mayeur), bukankah ia juga pada akhirnya tiba pada hasil penyampai bentuk keindahan?  Lukisan-lukisan Suja, meski  mengandung nilai kontradiksi dalam cara menyusunan elemen-elemennya, tetap menyampaikan hasil keindahan secara komposisi. Seseorang mungkin saja menolak cara seorang seniman, termasuk Suja, mengungkapkan nilai keindahan secara eksplisit. Bagi saya, maka itulah pilihan dan keputusan Suja. Tentu saja Suja tak seorang diri, seorang pelukis  Perancis, Pierre-Auguste Renoir,  juga pernah menyatakan: “ Why should beauty be suspect ? ”.  Pokok paling penting dari kesungguhan Wayan Suja untuk menyampaikan nilai keindahan itu tentu bukan soal ‘keindahan’ itu sendiri, melainkan tentang kemampuannya untuk menggerakkan kesadaran-diri mengenal lingkungan dan pengalaman hidup.  Persepsi tentang nilai ‘keindahan’ dan ‘kecantikan’ pada sosok Ni Polok tentu juga adalah sebuah mitos. Dalam penjelasannya, sebuah mitos “serve the ideological functions of naturalization ’to make  the cultural natural’ , in other words, to make shared cultural and historical values, attitudes and beliefs seem ‘natural’, ‘normal’, ‘self-evident’, ‘common-sense’ and even ‘true’”(8. Cara Suja membentuk karya- karyanya, bagi saya, tak lain adalah alasan demi menerima apa yang terbiasa kita persepsi secara umum sebagai nilai (keindahan) bisa dialami secara lebih bermakna.

Bandung , November 2009

Rizki A. Zaelani
Kurator 


ENDNOTES:
  1. 1. Brian Wallis, “What’s Wrong With This Pictures? An Introduction”,  Brian Wallis, ed. ART AFTER MODERNISM: Rethinking Representation (New York – Boston: The New Museum of Contemporary Art – David R. Godine, Publisher, Inc, 1988), hlm. xv.

  1. 2. Ernst H.J Gombrich, Art and Illusion: A Study in the psychology of Pictorial Representation (1960); (Oxford: Phaidon, 1980), hlm.27

  1. 3. W.J.T Mitchell, “The Pictorial Turn”, dalam PICTURE THEORY, Essays on Verbal and Visual Representation (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1994), hlm.6.

  1. 4. Lht. Pam Meecham & Julie Sheldon, “Retreat From Urban” dalam Modern Art: A Critical Introduction (London- New York: Routledge, 2000), hlm. 61-62

  1. 5. Lht. Susanne K. Langer, Feeling and Form (New York: Scibner, 1953), hlm. 27, 52.

  1. 6. Ibid.

  1. 7. Geeta Kapur, “CONTEMPORARY CULTURAL PRACTICE: Some Polemical Categories”, dalam  Rasheed Araeen, Sean Cubitt, Ziauddin Sardar, ed, THE THIRD TEXT READER on Art, Culture and Theory (London – New York: Continuum, 2002), hlm. 15

  1. 8. Tim O’Sullivan, John Hartley, Danny Saunders, Martin Montgomery & John Fiske, Key Concepts in Communication and Cultural Studies (London: Routledge, 1994), hal. 73.




Review 

Evolusi Visual Dalam Proses Kreatif Wayan Suja

Wayan Suja mulai berkenalan dengan seni rupa (lukis) ketika dia memasuki Sekolah Menengah Seni Rupa SMSR tahun 1991, melalui bangku sekolah inilah dia mulai mengasah kemampuan skill rupanya dan berkenalan dengan teknik melukis modern. Ketertarikannya pada seni rupa semakin tumbuh dan menghantarkannya untuk memasuki pendidikan seni pada jenjang yang lebih tinggi, setelah lulus dari sekolah menengah tahun 1995 Suja memutuskan untuk melanjutkan studinya pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI/ISI) Denpasar. Membawanya mulai berkenalan dengan seni lukis abstrak yang saat itu merebak di Bali hasil temuan seniman-seniman Sanggar Dewata Indonesia (SDI).

Pada Institusi ini Suja semakin ditempa daya kreativitasnya dan semakin dekat dengan kaidah-kaidah seni modern, dan seiring dengan menguatnya  gaya abstrak-simbolik Bali, karya-karyanya hingga akhir 1990-an sangat kuat menampilkan abstraksi. Pada tahun 1999 Suja beserta tiga kawan seangkatannya membentuk kelompok Catur Muka, sebuah kelompok seniman muda yang cukup terdepan kala itu dengan status masih sebagai mahasiswa mereka sudah berpameran di galeri-galeri yang penting di Bali. Suja sendiri menjelang akhir masa studinya sekitar awal tahun 2000-an sudah mulai diundang dalam pameran pada galeri-galeri Jakarta. Tahun 2000 karyanya masuk dalam nominasi Phillip Morris Art Award sebuah kompetisi yang cukup bergengsi untuk menapaki karir di seni rupa bagi seniman muda kala itu.
 
Atas Nama Kebenaran Apa? 2001
Sedari awal perkembangan karya-karyanya, Suja tidak sepenuhnya menyerap gaya seni abstrak yang sedang berkembang di Bali, dia hanya mengambil efek ekspresif dari lelehan, goresan kasar, tekstur, pada seni abstrak (Bali) untuk memperkuat karakter figuratif dalam karyanya yang kuat merepresentasikan fenomena sosial. Karya Suja banyak dipengaruhi oleh pergolakan sosial politik yang terjadi pada tahun 1998 dan setelahnya yang berlanjut dengan pergantian kekuasaan, tidak seperti seniman muda sejamannya sebagai mahasiswa Suja tidak dapat menutup mata dengan pergolakan sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam karya “Atas Nama Kebenaran Apa?” menampilkan figur-figur terpiuh dengan berbagai ekspresi, menghadirkan kondisi chaos pasca pergantian kekuasaan rezim Orde Baru munculnya tokoh-tokoh “baru” dengan berbagai janji-janji visi perubahan untuk membawa bangsa kebabak baru yang lebih baik. Suja sebagai seniman muda merasakan fenomena tersebut, dan dari judul yang disematkan dalam karyanya ini terlihat mosi ketidakpercayaannya pada para tokoh-tokoh baru ini.  Karenan keadaan yang berlangsung bukannya lebih baik malah tambah “parah”, hingga rakyat kelas bawah jadi korban nafsu untuk berkuasa dari para elit politik.

Karya-karya Suja hingga th 2002 kerap merepresentasikan persoalan sosial politik yang tengah berlangsung kala itu, pada umumnya menampilkan figur-figur terpiuh warna-warna yang dipilihnya pekat, suram, gelap, dinominasi warna merah, kuning, hijau, biru, coklat yang tidak bright namun bernuansa ke-gelap-an bahkan hitam. Dipadukan dengan lelehan, goresan kuas kasar, dan kadang bertekstur, dalam beberapa karya Suja kerap membuat kolase dari potongan majalah, koran, yang disablon dan ia juga kerap membuat kolase berdimensi dari kotak kayu dan sebagainya. Sebagai seniman muda awal karir kesenimanannya berjalan mulus dan dia bisa masuk dalam jaringan Sanggar Dewata Indonesia (SDI) sebuah kelompok seniman Bali yang mendominasi perkembangan seni rupa Bali kala itu. Saat itu tidaklah mudah masuk dalam jaringan SDI yang sangat dominan tersebut apalagi bagi seniman yang bukan kuliah di ISI Yogyakarta. Suja mendapat pengecualian karena prestasi yang telah ditunjukannya sebagai seniman muda yang cukup potensial di Bali.

Ternyata penerimaan arus utama SDI dalam awal karir Wayan Suja tidak membuatnya terlena dan malah berbalik, daya kritis yang dipresentasikan dalam karya-karyannya memberi dasar baginya untuk lebih kritis melihat medan seni rupa Bali. Bersamaan dengan masa kejayaan seniman SDI di kalangan seniman muda terutama mahasiswa STSI/ISI Denpasar tengah terjadi pergolakan kritis terhadap situasi seni rupa Bali kala itu yang didominasi oleh SDI. Hingga akhirnya terjadi konsolidasi besar-besaran di mahasiswa dan berujung sebuah Gerakan Mendobrak Hegemoni th 2001, yang mengkritisi kemapanan seni rupa Bali-SDI yang berhasil membentuk instutusi seni rupa. Suja yang karirnya senimannya sedang menanjak dan setelah sepulang dari lawatannya ke Bandung. Ketika mendapati suasana seni rupa Bali sedang memanas pasca gerakan Mendobrak, dia pun terketuk untuk ikut melakukan sebuah perubahan. Secara intensif Suja yang sudah menjadi alumni STSI akhirnya masuk kampus lagi mengadvokasi rekan-rekannya yang terlibat prahara akibat gerakan Mendobrak.
 
Identitas Bali? 2003
Dengan referensi dari lawatan mereka ke Bandung saat BAE kedua, Suja dan rekan-rekannya yang lain menyatukan keinginan untuk membentuk sebuah komunitas yang diberinama Klinik Seni Taxu. Untuk pertama kalinya pada th 2003 komunitas membuat alternative space di Denpasar. Keputusan berafiliasi dengan rekan-rekannya yang terlibat dalam gerakan Mendobrak, Suja telah memutuskan untuk menunda/mengalihkan jalur karir kesenimannya. Dia rela meninggalkan jaringan mapan (terutama pasar seni lukis) yang telah terbuka lebar untuknya. Dalam komunitas Suja mengembangkan sikap kritis pada latar kultural tempatnya tumbuh yaitu Bali, sejalan dengan semangat komunitas yang menaruh perhatian pada konstruksi budaya Bali. Hal ini terepresentasi kuat dalam karya-karya di tahun 2002, yang dipamerkan dalam pameran “Hati-hati Ada Upacara Taxu” 2002 di Klinik Seni Taxu Art Space. Suja menampilkan karya-karya yang kuat menampilkan representasi persoalan terkini di Bali yang tengah dirundung duka Bom Bali # 1 Oktober 2001.

Karya yang berjudul “Identitas Bali 2003” menampilkan sensitifnya persoalan identitas di Bali pasca Bom Kuta, identitas Bali dan non Bali adalah persoalan yang sangat penting. Orang Bali tiba-tiba menjadi paranoid dengan identitas tertentu dari masyarakat pendatang, kemudian diadakan penertiban terhadap identitas para pendatang yang datang dan tinggal di Bali. Pintu masuk Bali dari Barat di Gilimanuk dan Padang Bali mulai diadakan pemeriksaan rutin Identitas (ini masih lakukan hingga saat ini) orang-orang yang datang ke Bali.

Dalam karya Suja secara sinikal menampilkan persoalan identitas tersebut, berupa seorang pemuda Bali yang berpakaian adat, kamen, saput, udeng dan menyelip keris dipunggungnya dengan memakai kaca mata hitam, didadanya tergantung palakat nama bertuliskan “Bali Asli”. Disampingya duduk seekor anjing hitam bertuliskan “Bali Campuran”, berlatarkan komposisi warna poleng (hitam-putih) tergantung sebuah plakat lagi yang bertuliskan “Di cari!!! Beridentitas Bali”. Dari pakaian yang dikenakan oleh sang laki-laki menunjuk pada sosok Pecalang, satuan adat sebagai penjaga ketentraman Bali. Setelah peristiwa Bom Bali Pecalang sangat berperan dalam mengamankan Bali selain aparat keamanan. Satuan ketertiban adat ini dapat dibaca sebagai upaya protektif dan difensif-Bali dalam menghadapi serangan atas Bali. Kondisi ini bisa dimaknai sebagai bentuk reaksi simbolik, karena kalau dilihat dari kacamata keamanan jelas pengamanan versi pecalang tidaklah bisa dibilang memadai dari sisi pengaman yang dilaksanakannya. Reaksi ini oleh Degung Santikarma disebut sebagai “Siaga Budaya dan Budaya Siaga”. Dalam karya Suja menampilkan persoalan siaga budaya ini dengan menampilkan sosok pecalang berbadan tegap memakai kacamata dengan sebilah keris dibelakang punggung ditampilkan secara frontal.
 
Flattery of the little Clown, 2004
Dalam komunitas Suja yang sempat menjabat sebagai presiden Taxu tidak saja mengasah kepekaan kritikalnya dalam menganggapi kondisi sosial-budaya yang tengah terjadi di sekitarnya. Selain berkarya dia juga mulai menulis artikel seni rupa mengisi buletin seni rupa Kitsch yang mereka terbitkan secara mandiri, dan juga beberapa kali menulis untuk rubrik seni harian Bali Post.

Sembari mengasah daya kritis dengan kecenderungan menampilkan representasi dari sisi estetik dalam karya-karya Suja dari tahun 2003 terjadi perubahan, dari figuratif menjadi lebih realis. Pergerakannya ini sebenarnya bersifat coaccident terjadi tidak akibat disengajai untuk beralih gaya (bahasa rupa), pergerakan ini terjadi mengiringi intensi Suja menampilkan persoalan kontekstual dalam karyanya. Jelas bahasa representasi yaitu realis menjadi pilihan, karena dengan bahasa realislah persoalan tersebut dapat segera tampil tanpa bungkus simbolik. Pergeseran ini dapat dimaknai sebagai sikap berkesenian Suja yang mulai secara eksplisit dia tampilkan, dalam karya-karyanya terdahulu persoalan kontekstual dalam karya Suja ditampilkan dengan konstruksi visual yang lebih bersifat simbolik. Keputusan Suja untuk beralih bergabung dengan batifnya namun juga memberi perubahan dalam estetik karyanya, terjadi perubahan dari abstraksi-figuratif yang bersifat simbolik menjadi lebih representasional (realis), namun lebih memainkan tanda-tanda pada tataran konotaif dan denotatif.

Pengalamannya dalam mengangkat persoalan besar dalam budaya Bali lambat lain mengkristal dan memberikan prespektif baru bagi perkembangan karya Suja selanjutnya. Dalam pameran kedua Klinik Seni Taxu tahun 2004 yang bertajuk “Rememoratin”, Suja menampilkan karya berjudul “Flattery of the little Clown” menampilkan  sosok anak kecil yang sedang terpesona dengan sebuah boneka yang tergantung bergerak-gerak di depannya (digantung terpisah di depan lukisan). Di sampingnya terdapat pas foto Suja Sendiri dari semenjak di SD hingga lulus S1, pada bagian paling pinggir terdapat lobang-lobang yang berisi kaca cermin. Ekspresi si anak yang serasa menginginkan boneka itu namun itu hanya sebatas keinginan semata, karena boneka tersebut meskipun terlihat dekat namun ia dibatasi oleh dimensi waktu. Jika dikaitkan dengan pas foto diri yang ditampilkan disamping, hal ini bisa dibaca mungkin representasi obsesi sang seniman sendiri.

Namun terlepas dari tepat tidaknya pemaknaan itu, karya ini memberikan kesadaran baru bagi Suja dalam menyikapi persoalan sosial budaya yang tengah dia kritisi. Jika sebelumnya karya-karyanya umumnya menampilkan narasi besar persoalan sosial politik bangsa pasca reformasi (karya-karyanya antara 1998-2001) persoalan sosial budaya Bali pasca Bom Kuta (pada karya-karya 2002-2003), kini Suja mengalihkan perhatiannya pada persoalan pada narasi kecil persoalan diri sendiri dan orang Bali sendiri dalam memposisikan diri dibalik kepungan arus modernisasi dan globalisasi.
 
Aesthetic Line, 2004

Who Want to be a Balinese Artist?, 2004

Meskipun kemudian terjadi perubahan dalam kebijakan Taxu[1] untuk lebih memfokuskan pencarian estetik pada persoalan non kontekstual (formal) dalam presentasi karya-karya realis Taxu. Masa transisi ini dijalaninya dengan melahirkan karya yang dia berijudul “Aesthetic Line” 2005, menampilkan sebuah figur yang berada dipinggir sisi lukisan sedan berkacak pinggang melihat ke bawah. Sepertinya sedang memikiran sesuatu karya ini berlatarkan warna merah yang bernuansa lelehan dan warna coklat/hitam. Lewat karya ini Suja sepertinya sedang mengeveluasi proses kreativitasnya, dan mencari jawaban mengenai kemana dan apa sesungguhnya yang akan dia tampilkan dalam karya-karyanya.
Swear...! aku orang Bali, 2005
http://www.sovereignartfoundation.com/art-prizes/asia/gallery/?year=2005&page=2

Suja tidak sepenuhnya sepakat dengan keputusan untuk mengeliminir representasi persoalan kontekstual, daya kritis terhadap persoalan sosial tidak bisa dia hilangkan begitu saja. Karya-karya yang dibuat pada tahun 2005-pertengahan 2006 menyiratkan transisi dan pergulatan Suja antara penekanan aspek-aspek formal dan muatan kontekstual. Pergulatan itu dapat disimak dalam karya seri cocacola yang diberi judul, “Swear...! Aku Orang Bali” 2005, karya ini menampilkan sosok anak kecil sedang meneguk minuman kaleng cocacola dengan mamakai baju donal bebek. Ditambah dengan running texs ditengah-tengah lukisan yang bertuliskan swear..aku orang Bali. Sekilas karya ini karya ini cukup sederhana hanya menampilkan figur anak kecil yang sedang minum cocacola tidak ada yang spesial dalam hal ini, karena telah umum terjadi dimasyarakat (makna denotasi). Namun ditinjau lebih dalam karya ini berada dalam posisi tanda yang tidak hanya bermakna denotasi namun lebih pada makna konotasinya.
Kaleng Coca-cola minum yang telah menglobal, tokoh Donal bebek sebagai ikon Disney perusahan raksasa dalam bidang hiburan anak-anak adalah ikon-ikon yang berkonotasi luas. Bisa berbicara mengenai globalisasi, konsumerisme, dan bahkan dekolonialisasi dalam bentuk budaya. Suja dengan sadar mengambil ikon-ikon tersebut untuk merepresentasikan apa yang tengah persoalan sosial budaya Bali khususnya dan umumnya masyarakat dunia ketiga. Judul yang terasa bernada penegasan, justru memunculkan pertanyaan apa susungguhnya identitas tersebut? Apakah ketika kita memakai atau menikmati produk-produk modern (Barat) identitas kita telah berubah? Atau sebaliknya apakah dengan memakai pakain adat Bali berarti seseorang itu tentunya orang Bali?

Transformasi yang tengah terjadi dalam diri dan terepresentasi dalam karya-karya adalah betapa susungguhnya dia mendapati persoalan budaya itu sangat berlapis-lapis sehingga tidak mungkin melihatnya hanya dengan kaca mata kuda dan bahkan hitam putih. Kedetakan Suja dengan realitas adat dan iteraksi sosial yang telah menjadi kesehariannya seperti orang Bali pada umumnya, memberikannya cara pandang baru dalam meihat dan menanggapi persoalan yang tengah dihadapi oleh dia sendiri dan saudara-saudaranya di Bali.
 
Stretching object#2: Psst…Don't tell anyone…! I'm Balinese too, 2005

Stretching object#7: Plastic Bag Hegemony 1, 2006

Transformasi ini menumbuhkan keyakinan Suja transformasi estetik tidaklah identik dengan semangat avant garde, yang kembali menghindari representasi budaya. Kebedaan pemahaman inilah yang kemudian menjadikan Suja memutuskan untuk keluar dan mengundurkan diri dari presiden Taxu, dan menapaki kreativitasnya sebagai seniman indefenden berbekal keyakinan yang dipengangnya. Suja memang sosok seniman yang tidak pernah lepas dari perguatan kreatif tahun 2006 ketika berpameran bersama Klinik Seni Taxu di Cp Art Space Jakarta Suja mengawali sebuah ekplorasi baru yang kemudian menghantarkannya pada kematangan teknik dan sesibilitas. Karyanya dalam seri stretching object berupa tampilan obyek yang terpiuh dari efek digital-photoshop.


Stretching object#8: Plastic Bag Hegemony, 2006

Karya yang berjudul “Stretching object#2: Psst…Don't tell anyone…! I'm Balinese too, 2005”  Suja menampilkan pragmen dirinya yang sedang mengacungkan tangan kewajah yang ditutupi oleh plastik kemasan Dunkin Donat karya ini kembali menampilkan transisi pengolahan estetik (fromal) dalan konstruksi karyanya, dengan persoalan konteks (identitas dan konsumerisme). Lewat seri karya stretching object ini Suja menemukan plastik sebagai ide yang selanjutnya semakin ditekuninya. Tahun 2007 secara mengejutkan Suja menampilkan belasan eksplorasi plastik dalam karya-karyanya.
 
Plastic Bag Exotica #2: Grayscale on the Quinacridone Rose, 2006
Dalam pameran tunggal pertama ini diberi judul “Plush-tick”, yang menampilkan penggalian Suja pada persoalan teknis untuk merepresentasikan kehadiran plastik yang transparan yang tumpah tindih dengan figur-figur manusia; anak kecil, wanita, dan orang tua. Suwarno Wisetrotomo sebagai kurator pameran mengungkapkan:
Wajah-wajah yang tersamar oleh plastik-plastik kemasan itu adalah wajah-wajah yang dalam posisi “tak terhindarkan”, atau “apa boleh buat” (lihat karyanya seperti “Plastic Bag Exotica 3: Silent Face 01” (2007), Camouflage#1 (2007), Silent Face 02 (2007)). Atau karya objek tiga dimensional yang menghentak; manekin dari bambu yang dianyam, bentuknya mengisyaratkan laki-laki dan perempuan,  mengenakan  busana  berbahan  plastik  kemasan.  Kita  seperti menyaksikan parade manusia yang tertikam oleh merek, oleh produk, oleh citra, yang (mungkin) merasa “ada karena belanja, ada karena merek, ada karena mengkonsumsi”. Juga eksperimennya melukis di atas plat yang ringsek, seperti mengisyaratkan iklan-iklan yang meringsekkan identitas manusia pada umumnya. Iklan yang merepresi secara laten terhadap selera dan  keyakinan siapapun[2].
 
Plastic Bag Exotica #3; Silent Face 07
Camouflage #1, 2007
Silent Face 01, 2007
Komang Kenyem Smile, 2007
Reflection, 2007
Plush-tick, 2007

Celebration of Change, 2007


Dalam pameran ini Suja kembali menampilkan kemantapan keyakinannya, karya-karya menampilkan kemajuan peggalian visual (kepekaan formal) yang difomulasikan dengan muatan kontekstual. Suja seraya membuktikan keyakinannya, bahwa transformasi ala Taxu bukanlah satu-satunya cara untuk eksis di medan seni kontemporer. Berbeda dengan Taxu yang selanjutnya justru eksis dengan mentransformasi diri dan mereduksi citra “kritisisme budaya” yang sedari awal dengan gigih dibangun bersama. Suja yang memilih keluar dari komunitas dengan mempertahankan kritisisme budaya yang sedari awal dibina dalam komunitas, ironisnya spirit Taxu masih melekat justru masih melekat pada diri eksponennya yang memilih keluar dari komunitas. Tentang pemilihan tema plastik Suja mengungkapkan pandangannya sebagai berikut;
Kenyataan tidak bisa terhindarkan bahwa plastic adalah sebuah paradok dalam kehidupan masyarakat modern. Ia tidak bisa dipungkiri maanfaatnya dalam berbagai aspek kehidupan manusia, namun disisi lain sampah-sampah dari plastik berperan besar dalam proses kerusakan lingkungan. Plastik bukan hanya persoalan dalam kehidupan masyarakat urban saja, tapi sudah merambat ke dalam kehidupan masyarakat tradisional di pedesaan.[3]

Terakhir, kembali dengan mengutif konsep berkaryanya Suja menegaskan; “kehadiran plastik dalam karya saya merupakan penanda atau bisa juga di baca sebagai metaphor dari  budaya konsumerisme yang sedang saya atau mungkin juga anda rayakan bersama-sama sebagai identitas baru yang dianggap simbol “kemewahan” dalam gaya hidup”[4].

Bandung oktober-November 2008
I Wayan Seriyoga Parta










[1] Kebijakan ini merupakan upaya transformasi Taxu yang pernah distigmakan realis sosialis Bali, karena dalam beberapa projectnya, kerap menampilkan secara kritis persoalan sosial budaya Bali. Th 2004 atas undangan Rumah Seni Cemeti Yogyakarta, Klinik Seni Taxu membuat project penggalian sejarah 1965 di Bali yang diberi judul “Memasak dan Sejarah”.
[2] Baca Suwarno Wisetrotomo dalam Katalog Pameran tunggal I Wayan Suja “Plush-tick” 2007 Komaneka Fine Art Gallery Ubud.
[3] Konsep berkarya I Wayan Suja
[4] Ibid



Senin, 10 Agustus 2015

Spiritualitas Urban

Because we need something to keep fresh

Because we need something to keep fresh | 100x140 cm | Oil on canvas | 2015
Tingginya mobilitas masyarakat (modern) di perkotaan (urban) dalam usahanya mencapai kemakmuran secara material (kemewahan/gengsi sosial) mendorong tumbuhnya sifat yang lebih mementingkan diri sendiri (individualistis), serba praktis (instan). Masyarakat begitu dimanjakan dengan berbagai kemudahan sebagai konsumen dengan komodifikasi berbagai olahan makanan yang cepat saji.  Sebagai symbol kemewahan hadirnya lemari pendingin (Kulkas) di setiap rumah tangga sepertinya adalah sebuah keharusan. Bagaimana menjaga ketersediaan stok makanan di dapur agar tetap segar untuk beberapa hari ke depan. Cara praktis menyimpan bahan makanan untuk beberapa hari juga diterapkan dalam laku spiritual (ritual) masyarakat (Bali) saat ini.  Sikap pragmatis ini  bisa kita amati dalam lemari pendingin setiap rumah tangga yang isinya selain bahan makanan maupun minuman, kita sudah pasti menemukan bahan-bahan membuat sesaji berupa bunga maupun sesaji berupa canangsari di bungkus plastik. Bagi orang Bali persembahan berupa sesaji yang dilakukan setiap hari adalah sebuah kesadaran melaksanakan kewajiban sebagaimana mereka setiap hari makan dan minum. Terlebih mempersembahkan sesuatu yang nampak masih fresh  sebagaimana makanan maupun minuman yang mereka konsumsi tetap fresh, bagi mereka tentu dalah sebuah kemewahan tersendiri. ***


Traffic Light 

Traffic Light | 120x150 cm | Oil on canvas | 2015






















Masyarakat (Hindu) Bali yang mewarisi tradisi spiritual dalam bentuk upacara (ritual) dengan berbagai bentuk yang simbolis. Dalam kehidupan masyarakat urban yang materialistis, bentuk-bentuk simbolis spiritual ini juga tetap diyakini sebagai sarana untuk tetap mendekatkan diri dengan sang Pencipta.
Sehingga dalam setiap aktivitas keseharian mereka terlebih aktivitas ekonomi (dalam usahanya mencapai kemakmuran material), bentuk bentuk simbolis spiritual tersebut selalu bisa kita jumpai.  Misalnya pada dashboard kendaraan baik pribadi maupun angkutan umum seperti anglutan kota, Taxi, angkutan pariwisata.

Canangsari sebagai sarana spiritual paling sederhana bagi orang Bali dalam mendekatkan diri dengan sang Pencipta. Namun, dalam perkembangan saat ini sering kita lihat kehadiran benda lain pada canangsari, berupa produk kapitalis misalnya roti, biscuit, wafer, permen kadang juga rokok. Kalau kita amati secara visual memang terjadi pergeseran (bisa juga dibaca: perubahan) “pengemasan” simbolis. Namun dari fenomena visual ini saya tidak ingin menyimpulkan bahwa dalam pergeseran kemasan tersebut juga telah merubah makna philosofis maupun esensi simbolis dari bentuk kesadaran spiritual tersebut.

3 butir permen pada canang sari di atas dashboard mobil sebagai pintu masuk untuk mencoba memahami paradok dalam laku spiritual di tengah aktivitas masyarakat urban yang konsumeristik dan materialistik. Traffic Light merupakan representasi urbanisasi sebagai sebuah persimpangan bertemunya berbagai latar belakang ras, etnis, agama, kelas ekonomi, dan social kultural bahkan latar belakang Negara yang berbeda. Traffic Light juga sebagai metaphor diri sendiri yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi yang masih berlangsung dan perubahan yang sedang terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali.***

Finding God in The Midst of Urban Chaos




Finding God in The Midst of Urban Chaos | Video Audio | 06.0.9 Minutes | 2015 
*silahkan pergunakan headset anda untuk mendapatkan suara yang lebih menarik*


Dalam kesemrawutan aktivitas masyarakat urban yang konsumeristik dan serba materialistis, kebisingan dan kemacetan adalah persoalan klise di setiap kota. Dalam kemacetan, kita juga tidak terhindarkan dari tekanan psikologis, di mana  tingkat emosional kadang menjadi semakin tidak terkontrol dalam kebisingan suara kendaraan, suara klakson yang saling bersautan juga polusi gas buangan kendaraan.

Kontradiksi dalam masyarakat urban ketika suatu saat di sebuah tempat suci ibadah (Pura, Masjid, Gereja) yang berlokasi di jalur padat menyelenggarakan ibadah maupun upacara keagamaan. Di situ mungkin kemacetan tidak terhindarkan. Suara kendaraan, klakson, suara pluit dari pengatur lalu lintas, suara genta, gamelan, serta suara kidung/kekawin dari pengeras suara bercampur aduk menambah tekanan psikologis dari para pengguna jalan. 


Asumsi berbeda tentu muncul dari orang-orang yang terlibat dalam kegiatan keagamaan tersebut, perasaan bangga menjadi religious, kadang tidak jarang juga menjadi arogan saat berinteraksi dengan pengguna jalan lainnya. Perasaan berbeda-beda tentu muncul dari para pengguna jalan yang terjebak kemacetan; ada yang merasa toleran nampak biasa saja, namun tak jarang juga ada yang emosinya tidak terkontrol mengumpat walaupun hanya di dalam hati.

Demikian realitas mencari kedamaian batin (Tuhan) di tengah kesemrawutan kota yang saya rekam dan coba representasikan dalam bentuk audio visual.***

Batubulan, Juni 2015
Wayan Suja